Jumat, 27 Maret 2009

Mengapa Harus Sholat Shubuh ?

. Jumat, 27 Maret 2009

Dirikanlah shalat di waktu tergelincir matahari sampai gelap malam, dan dirikanlah shalat Subuh, sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan. (Qs. Al-Israa’ :78)
Ahad lalu saya shalat ‘Ashar berjamaah di mushalla pribadi pak Syamsi. Ikut serta diantaranya Iwan, anak remaja pak Syamsi, dan Adi sahabat Iwan, juga Luthfie dan pak Mustopha tetangga terdekat keluarga pak Syamsi. Mushalla pribadi milik pak Syamsi adalah sebuah bangunan semi permanen yang didominasi warna ungu, terletak terpisah dari bangunan utama, dan merupakan bangunan yang berada paling depan. Dengan menempatkan mushalla di bagian depan, pak Syamsi bermaksud mengingatkan siapa saja yang memasuki pekarangan rumahnya untuk menunaikan kewajiban shalat lima waktu. Mengapa warna ungu yang dipilih, bukan hijau atau putih ? Pak Syamsi menjelaskan, pada dasarnya semua warna adalah ciptaan Allah, dan setiap ciptaan Allah adalah indah. Tidak ada warna hitam khusus untuk kematian, tidak ada warna pink khusus untuk valentine.
Warna ungu bukan pilihan yang disengaja tetapi memang hanya warna itulah yang disumbangkan tetangga sebelah. Dengan alasan, antara lain untuk memberikan efek eye catching, sehingga siapa saja yang melintas di sekitar itu akan memalingkan mukanya dan mengarahkan sorot matanya kepada bangunan bernuansa ungu tadi. Memang bangunan sederhana itu begitu menonjol dibanding bangunan utama yang putih bersih. Dinding mushalla boleh berbeda warna, namun Islam tetap satu tidak warna-warni. Sarung, kopiah dan baju koko boleh berbeda warna, namun aqidah tetap satu. Islam sejak Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad saw adalah petunjuk yang satu karena bersumber dari Allahu Ahad.

Seusai shalat ‘Ashar, setelah puji dan doa kepada Allah ditunaikan, Adi bertanya kepada pak Syamsi, ‘Paman, mengapa kita diwajibkan shalat pada pagi hari sekali (Subuh), bukankah Allah terbebas dari dimensi waktu dan ruang…?’
Menurut Adi, kewajiban shalat pagi hari sekali (Subuh) itu sangat memberatkan dan tidak realistis, mengingat Allah yang kita sembah tidak dipengaruhi oleh dimensi waktu, oleh karenanya kapanpun kita shalat bagi Allah sama saja. Kesan seperti itu memang khas Adi. Ia adalah mahasiswa baru di sebuah Universitas negeri. Adi saat ini sedang sibuk-sibuknya menulis beberapa paper yang ditugaskan dosen-dosennya. Sehingga, ia harus tidur larut dan seringkali sulit bangun ketika adzan Subuh memanggil. Untungnya Adi punya ibu yang shalehah, yang setiap hari siap menyentakkan tidurnya dan mengingatkan Adi untuk shalat Subuh sejenak, kemudian melanjutkan tidur secukupnya, sehingga Adi punya cukup tenaga untuk melanjutkan menulis paper dan menyimak perkuliahan.
Shalat merupakan kewajiban yang ditentukan Allah (Qs. 2:43). Dan shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya (Qs. 4:103). Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa seluruh makhluk ciptaan Allah bertasbih, shalat, dan berdoa menurut cara masing-masing (Qs. 24:41). Kilat yang menyambar-nyambar dan menghasilkan listrik, angin yang berhembus dan menyebabkan terjadinya proses pembuahan pada tetumbuhan, matahari yang berputar dan bersinar sehingga terjadi proses fotosintesis, itu adalah cara mereka bertasbih, berdoa, shalat, ruku’ kepada Allah Sang Maha Pencipta. Allah menetapkan ketentuan-Nya kepada makhluk-makhluk itu dengan ketetapan yang paten, pasti, sebuah default tanpa option, sebuah keniscayaan tanpa alternatif. Berbeda dengan itu, Allah memberikan kepada manusia free will. Manusia bisa saja tidak memenuhi kewajiban shalat, dengan risiko digolongkan kafir dan dijadikan penghuni neraka jahannam. Itulah ‘kelebihan’ manusia.

Manusia bisa saja merumuskan hukum baru bagi shalat, sebagaimana disesatkan oleh aliran Isa Bugis, yang menyatakan shalat belum wajib karena saat ini umat Islam masih berada pada periode Mekkah. Apabila seseorang melakukan shalat pada periode ini, maka ia seperti shalat di tempat sampah. Seorang publik figure yang tokoh sebuah LSM (maaf tidak kami sebut namanya), tanpa rasa malu dan tanpa beban pernah menyatakan pada sebuah televisi swasta, bahwa ia yang dulu rajin menjalankan shalat dan membaca al-Qur’an, kini tidak lagi mempraktekkan ritual shalat yang dianggapnya konvensional. Baginya, amalan sosial adalah praktek shalat yang sesungguhnya. Ada kemiripan dengan kesesatan yang di ajarkan Isa Bugis di atas.
Mungkin tokoh LSM tersebut banyak mendapat contoh negatif dari lingkungan terdekatnya. Boleh jadi ia sering bergaul dengan orang munafiq yang shalatnya bukan karena Allah, sehingga tak membekas dalam praktek sosial yang riel. Boleh jadi dia telah terburu-buru menyimpulkan dan menggeneralisir keberadaan sebuah noktah pada sebah komunitas sebagai bagian utuh yang menyeluruh dari sebuah masyarakat Islam yang luas. Padahal, alangkah bijaksananya bila dia meluangkan sedikit waktu untuk eksplorasi, sehingga memperoleh gambaran riel tentang keberadaan sekelompok orang dalam sebuah komunitas yang selain benar shalatnya juga benar amalan shalihnya.

Kepada Adi Pak Syamsi menjelaskan, bahwa waktu-waktu shalat termasuk shalat Subuh merupakan ketetapan Allah, sebagaimana bisa dirujuk kepada Al-Qur’an surat 17:78 “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” Dan Rasulullah hanya menjalankan ketentuan tersebut. Hikmah shalat antara lain melatih kedispilinan dalam soal waktu. “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Qs. 11:114). Sekitar satu jam dua puluh menit sebelum matahari merekah/terbit, itulah yang dinamakan Subuh. Ketika itu, malaikat malam dan malaikat siang berkumpul untuk shalat bersama sebelum berganti tugas. Mengapa sepagi itu kita diwajibkan shalat ? Kepada Adi Pak Syamsi menjelaskan. Bahwa manusia memang makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Namun kesempurnaan itu tergolong relatif, dalam arti tak bebas dari kekurangan bila dibandingkan dengan makhluk lain.
Misalnya, bila dibandingkan dengan ayam, manusia yang sempurna tadi ternyata masih belum mampu menandingi kedisiplinan ayam, yang secara teratur bangun pagi di waktu fajar, yaitu sekitar 10 menit sebelum masuk waktu Subuh atau sekitar satu setengah jam sebelum matahari terbit. Kepada Adi dan Iwan Pak Syamsi menjelaskan, ‘kewajiban shalat Subuh yang ditentukan Allah barangkali untuk memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sebagai ciptaan Allah yang paling sempurna, tidak ada alasan bagi kita untuk bersikap sombong, karena sebagian besar dari kita tidak lebih taqwa dari ayam.’

Ciri khas orang yang berzikir antara lain : bicaranya dakwah, diamnya zikir, nafasnya tasbih, matanya rahmat dan pikirannya husnudzhan (baik sangka). Selain itu, tanda yang lain yaitu : hatinya do’a , tangannya sedekah, kakinya jihad, kekuatannya silaturrahim, kerinduannya syari’at Allah dan kesibukannya asyik memperbaiki diri (introspeksi) .

(KH.Arifin Ilham)

0 komentar: